Sabtu, 16 Agustus 2014

Analisis Filogenetik: Identifikasi Bakteri Secara Molekuler

Metode identifikasi bakteri secara garis besar dapat dibagi menjadi teknik genotipik yang berdasarkan pada profil materi genetik suatu organisme (utamanya DNA) dan teknik fenotipik yang berdasarkan pada baik profil sifat metabolik maupun beberapa aspek komposisi kimianya.  Sebelum berkembangnya teknik biologi molekuler, mikrobia dikarakterisasi berdasarkan sifat morfologi, fisiologi, dan koloninya. Biotyping, serotyping, bacteriocin typing, phage typing, pola kerentanan terhadap anti mikrobia, dan metode berbasis protein lainnya merupakan contoh metode fenotipik yang umumnya digunakan (Fakruddin, 2013). 
Dasar Klasifikasi Bakteri (Prakash et al., 2012).
Kelemahan metode fenotipik terkait tingkat reprodusibilitasnya, dimana metode tersebut memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang handal (reliable). Selain itu, metode ini juga mengkarakterisasi organisme berdasarkan produk ekspresi gen yang sangat sensitif terhadap berbagai macam kondisi lingkungan seperti suhu pertumbuhan, fase pertumbuhan dan mutasi spontan. Kelemahan metode fenotipik ini menjadi dasar pengembangan metode genotipik berbasis DNA. Sehingga, metode genotipik berbasis DNA menjadi lebih popular dan diterima secara luas karena bersifat reprodusibel, praktis, menunjukkan perbedaan antar spesies yang lebih kontras serta dapat membantu menghindari duplikasi strain (Prakash et al., 2007). Metode genotipik ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teknik berbasis sidik jari atau pola dan teknik berbasis sekuen atau urutan DNA (Prakash et al., 2012). Pada  artikel ini akan dibahas teknik rep-PCR sebagai wakil analisis sidik jari serta identifikasi menggunakan gen 16S rRNA dan gen gyrB sebagai wakil teknik berbasis sekuen.
1.      Analisis Sidik Jari Menggunakan rep-PCR
Sebelumnya telah disebutkan bahwa salah satu metode genotipik untuk identifikasi bakteri adalah teknik berdasarkan sidik jari atau pola. Teknik ini secara khusus menggunakan metode sistematis dalam menghasilkan serangkaian fragmen dari DNA kromosom organisme. Fragmen ini selanjutnya dipisahkan berdasarkan ukuran untuk menghasilkan suatu profil atau sidik jari yang bersifat unik untuk organisme tersebut dan kerabat terdekatnya. Cukup dengan informasi ini, seseorang dapat membuat perpustakaan atau database sidik jari organisme yang telah dikenal dan dibandingkan dengan organisme uji. Ketika profil dari kedua organisme tersebut cocok, maka mereka dapat dianggap berkerabat dekat, biasanya pada tingkat strain atau spesies (Frakash et al., 2007).
Ada beberapa macam teknik sidik jari yang telah digunakan secara luas terutama untuk identifikasi strain bakteri di bidang epidemiologi serta ekologi mikrobia. Secara garis besar ada dua pendekatan umum dari teknik sidik jari untuk menentukan strain bakteri (Demezas, 2011). Pertama, berdasarkan analisis RFLP yang mendeteksi variasi sekuens dengan membandingkan ukuran dan jumlah fragmen restriksi yang dihasilkan melalui pemotongan DNA oleh enzim restriksi. Kedua, variasi multipel amplikon dengan ukuran berbeda yang merupakan produk amplifikasi dengan primer. Kelompok kedua ini mencakup repetitive sequence based-Polymerase Chain Reaction (rep-PCR) (Versalovic et al., 1994), Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) (Williams et al., 1990) dan Arbitrary Priming-PCR (AP-PCR) (Welsh & McClelland, 1990).
Rep-PCR pertama kali diperkenalkan oleh Versalovic et al. (1991) dan menghasilkan sidik jari DNA yang terdiri atas multipel amplikon DNA dengan ukuran berbeda-beda. Amplikon ini mengandung segmen kromosom DNA yang bersifat unik yang berada diantara sekuen repetitif, dimana sekuen repetitif tersebut menjadi target penempelan primer (tabel 1) dengan sekuen repetitif (Versalovic et al., 1999).
Ada tiga elemen sekuen DNA repetitif yang bersifat konservatif yang biasa digunakan untuk tujuan typing, yaitu sekuen REP, ERIC, dan BOX  (Genersch & Otten, 2003). Elemen REP (Repetitive Extragenic Palindromic) merupakan unit palindromik yang mengandung loop yang bervariasi pada struktur stem-loopnya (Stern et al., 1984). Elemen ERIC (Enterobacterial Repetitive Intergenic Consensus)  ditandai dengan struktur palindromik pusat yang bersifat konservatif (Hulton et al., 1991). Sementara elemen BOX terdiri atas beberapa subunit berbeda yang bersifat konservatif, yaitu boxA, boxB, dan boxC dan hanya boxA yang diketahui memiliki sekuen yang sangat konservatif pada banyak bakteri (Versalovic et al., 1994).

Primer yang umum digunakan pada rep-PCR. (Charan et al., 2011)
                                                                          
rep-PCR telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk identifikasi methylobacter yang berasosiasi dengan tanaman (Raja et al., 2008), untuk membedakan strain Eschericia coli dari ekologi yang berbeda (Dombek et al,. 2000), serta untuk penentuan diversitas genetik pada Pseudomonas fluorescence (Charan et al., 2011).
Contoh Profil REP-PCR serta dendrogramnya

2.      Identifikasi Bakteri dengan sekuen 16S rDNA dan gen gyrB.
Untuk identifikasi bakteri berbasis sekuen biasanya digunakan suatu marker, baik yang terdapat pada daerah gen maupun daeah DNA non-koding, dengan karakteristik antara lain: pertama, sebagian besar merupakan housekeeping gene yang ada pada semua bakteri; kedua,  memiliki polimorfisme yang tinggi sehingga membuatnya dapat dibedakan antara bakteri yang juga berbeda; ketiga, marker molekuler tersebut harus bersifat sangat konservatif pada beberapa daerah sehingga memudahkan untuk mendesain primer yang tepat untuk proses amplifikasi dengan PCR (Liu et al., 2012).  Ada beberapa gen dan daerah DNA yang memiliki kesemua ciri tersebut dan telah digunakan secara luas untuk identifikasi bakteri, diantaranya gen 16S rRNA, gen 23S rRNA, daerah ITS, gen rpoB, gen gyrB dan gen recA (Sacchi et al., 2002; Miflin & Blackall, 2001; Houpikian Raoult, 2001; Vos et al., 2012;) Wu & Ahn, 2011; Seo et al., 2009).
Pada tahun 1960-an, Dubnau et al. melaporkan sifat konservatif gen 16S rRNA pada  Bacillus spp. Penggunaan gen 16S rRNA yang luas untuk identifikasi dan taksonomi kemudian digagas oleh Woese et al. (1980) yang menunjukkan bahwa hubungan filogenetik  bakteri, termasuk semua bentuk kehidupan, dapat ditentukan dengan membandingkan suatu bagian kode genetik yang bersifat stabil. Kandidat untuk daerah ini termasuk gen yang mengkode 5S, 16S, 23S rRNA, maupun daerah IGS (Intergenic Spacer) (Clarridge, 2004). Akan tetapi gen 5S rRNA (120 bp) dan 23S rRNA (3300 bp) telah terbatas penggunaannya. Gen 16S rRNA (1650 bp) merupakan marker yang paling sering digunakan dan telah merevolusi bidang sistematika mikrobia (Prakash et al., 2007).
Daerah Konservatif dan Variabel Gen 16s rRNA.
Gen 16S rRNA mengkode rRNA subunit kecil ribosom organisme prokariot. Gen tersebut banyak digunakan dalam analisis filogenetik karena terdistribusi secara universal, bersifat konservatif, memiliki peran penting pada ribosom dalam sintesis protein, tidak ditransfer secara horizontal, serta kecepatan evolusi dengan variasi tingkat yang tepat di antara organisme. Molekul 16S rRNA memiliki daerah variabel dan konservatif, dimana primer universal untuk amplifikasi gen 16S rRNA secara lengkap biasanya dipilih dari daerah konservatif tersebut,  sementara daerah variabel lebih banyak digunakan untuk taksonomi perbandingan (Prakash et al., 2007).
 Gen gyrB menyandi subunit B protein DNA girase, DNA topoisomerase tipe II, yang berperan penting dalam replikasi DNA dan terdistribusi secara universal di antara spesies bakteri (Wang et al., 2007; Watt & Hickson, 1994; Huang, 1996). Kecepatan evolusi molekuler dari gen gyrB lebih cepat dibandingkan sekuen 16S rRNA (Yamamoto & Harayama, 1995). Sekuen gen gyrB telah banyak digunakan untuk identifikasi spesies bakteri, seperti spesies Campylobacter (Gunther et al., 2011), kelompok Bacillus subtilis (Wang et al., 2007), kelompok Bacillus cereus (La duc et al., 2011), dan spesies Pandorea (Coenye & LiPuma., 2002).

disarikan oleh S. Ahmad Tahir 

1 komentar: